Last modified: 2022-06-06
Abstract
Lembaga keuangan Internasional sudah sejak lama memberlakukan kerangka pengaman (safeguard) tentang indigenous peoples (masyarakat adat). Menurut standard itu, semua proyek yang bersinggungan dengan masyarakat adat harus melakukan konsultasi yang bebas -- sering juga disebut sebagai meaningfull consultation -- untuk memperoleh dukungan yang luas. Dalam konteks yang lebih spesifik, bahkan, proyek harus menerapkan prinsip free, prior and informed consent (FPIC). Apa ukuran dan/atau aktor-faktor apa yang dapat digunakan untuk menentukan dukungan luas dan/atau consent telah dicapai? Tulisan ini coba menjawab pertanyaan pokok tersebut melalui suatu studi kasus di tengah kelompok etnik Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dimulai dari operasonalisasi terma masyarakat adat dalam konteks kelompok etnik yang bersangkutan hingga problem dan paradoks yang dihadapi dalam proses melaksanakannya. Penulis berkesimpulan, sebagaimana juga disampaikan oleh tim Inspection Panel dari Bank Dunia (2016), penerapan kerangka pengaman tentang masyarakat adat memerlukan sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menyelenggarakan kajian etnografi. Tanpa itu maka amanat kerangka pengaman yang bersangkutan akan terperangkap pada kegiatan formalitas semata. Pemahaman tentang masalah yang dihadapi dalam menerapkan kerangka pengaman terkait masyarakat adat ini perlu terus ditingkatkan. Tuntutan penggunaan safeguard terus meningkat seiring dengan komitmen untuk mengatasi persoalan perubahan iklim di masa depan.