Universitas Indonesia Conferences, The 8th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia

Font Size: 
Etnisitas dan Demokrasi di Tanah Papua: Politik Baku Atur
A Sudiana Sasmita

Last modified: 2022-06-06

Abstract


Studi ini mengungkap politik etnisitas di Tanah Papua dengan perspektif demokrasi yang jarang dilakukan peneliti lain, karena tiga alasan. Pertama, secara teoritis, belakangan telah berkembang studi yang menunjukkan hubungan yang tidak selalu negatif antara etnisitas dan demokrasi di negara-negara Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Melanesia – termasuk Indonesia dan Papua.  Kedua, secara metodologis, studi tentang Papua cenderung memisahkan antara kajian etnisitas yang dipimpin oleh para antropolog lokal dan internasional untuk memahami kehidupan kelompok dan nilai-nilai orang asli Papua, dan kajian politik demokrasi Papua seperti Pilkada, self-determination, dan pemekaran oleh para akademisi maupun aktivis politik. Pada titik ini, saya menganalisis hubungan antara etnisitas dan demokrasi di Papua dengan pendekatan konstruktivis yang berasumsi bahwa identitas etnis dapat berubah dan bersifat multi-identitas seiring perubahan setting yang terjadi terutama pasca tumbangnya Orde Baru. Ketiga, secara praktis, terdapat hasil-hasil Pilkada di Kabupaten/Kota menunjukkan terpilihnya non-Papua sebagai bupati atau walikota, termasuk terpilihnya Bupati non-Papua di Sorong Selatan selama dua periode yang lalu (2005-2015) di kabupaten yang mayoritas penduduknya orang asli Papua. Sebaliknya, Keerom dengan mayoritas penduduknya non-Papua (Pendatang) memilih orang asli Papua sebagai bupati dan mengalahkan kompetitornya dari non-Papua di tahun 2020.

Dengan comparative case studies: membandingkan Sorong Selatan (Papua Barat) dan Keerom (Provinsi Papua), saya menyimpulkan bahwa etnisitas berhubungan erat dan bisa bekerja dengan nilai-nilai demokrasi di Tanah Papua. Hal ini berdasarkan 4 logika yang dapat menghubungkan keduanya, yaitu: Madisonian logic, ethnic party logic, separatist logic, dan brokerage logic (Selway, 2015). Logika Madisonian adalah keharusan berkooperasi karena keberagaman yang ditunjukkan pada setting masyarakat Sorong Selatan dan Keerom dengan identitas-identitas etnis berdasarkan bahasa, dialek, dan teritori seperti kampung dan distrik. Logika ethnic party ialah adanya peran kelompok-kelompok etnis yang menggantikan partai politik dalam memobilisasi dukungan agar memiliki representasi politik mereka baik sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif. Sedangkan logika separatis adalah tuntutan untuk memisahkan diri menjadi cara untuk adanya akomodasi baik dari negara maupun dari pemerintah lokal. Kemudian, logika brokerage yang saya temui dengan istilah lokal sebagai Baku Atur karena partisipasi yang hadir secara kelompok (bukan individual) tetap mengharuskan adanya linkage antara kepentingan elit dengan kepentingan akar rumput. Dengan kata lain, semua pendapat anggota kelompok memiliki bobot yang sama dalam hubungan bercorak klientelistik di Papua.

Implikasi studi adalah selama ini pemerintah Indonesia seperti diuntungkan dengan asumsi pemecahan banyaknya identitas etnis yang didorong oleh pemekaran di Tanah Papua. Tetapi identitas etnis yang dapat berubah itu justru menguntungkan Papua dalam menghadapi setting yang terus-menerus berubah. Keberagaman kelompok etnis mengharuskan mereka untuk berkooperasi, mengakomodasi satu sama lain sekaligus merepresentasikan diri dan berpartisipasi untuk kepentingan bersama – apapun itu. Tidak ada cara lain, kerja-kerja negara untuk melepaskan belenggu kegelapan (misal, lemahnya pendidikan, kesehatan, dan sumber daya manusia) dan keterasingan orang Papua di tanahnya sendiri sebagai bentuk dialog damai yang sebenarnya. Demokrasi Papua adalah salah satu kunci utama untuk mendekatkan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari.


Conference registration is required in order to view papers.