Last modified: 2017-06-19
Abstract
Sejarah Indonesia seperti yang didapat dari pelajaran Sejarah di sekolah tidak memasukan peran etnis Tionghoa di dalam membangun NKRI demikian pula di dalam kehidupan sehari-hari orang cenderung mengesampingkan hal ini. Ketika diteliti dapat disimpulkan bahwa selama 35 tahun rejim Orde Baru berkuasa telah terjadi “pengucilan” terhadap etnis Tionghoa dalam bentuk berbagai kebijakan politik dan hukum yang telah membatasi peran mereka bahkan berhasil menempelkan stigma-stigma buruk terhadap etnis Tionghoa. Sesungguhnya Orba adalah perpanjangan kolonialisme Belanda karena perlakuan ini sudah dimulai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menerapkan politik segregasi sebagai akibat dijalankannya politik divide and rule. Setelah Reformasi 1998, terlihat adanya inisiatif dari kedua pihak untuk membangun kebangsaan yang lebih adil. Segala usaha menggali peran-peran Peranakan Tionghoa baik di masa lampau maupun mendudukkan posisi mereka di dalam proses kebangsaan merupakan ruang kontestasi yang akan menjadi pembahasan makalah ini. Hal ini akan dibahas melalui dua museum yang memakai istilah “peranakan Tionghoa” pada namanya: Museum Pustaka Peranakan Tionghoa (2012) dan Museum Heritage Benteng (11 November 2011). Kedua museum terletak hanya beberapa puluh km dari Jakarta yaitu di Tangerang Selatan, daerah ini dijuluki Benteng dan merupakan kantong pemukiman etnis Tionghoa sejak jaman kolonial Belanda. Makalah ini tidak bertujuan memberikan jawaban atas permasalahan tersebut melainkan ingin menunjukkan proses yang terjadi ketika identitas dipertanyakan dan menjadi isu politisasi.
Keywords: chinese diaspora, Indonesian chinese, space as constestation, Museum Pustaka Peranakan Tionghoa